Dengan kewenangan terbatas, ternyata
dalam prakteknya para wakil daerah dalam DPD RI masih merasakan bahwa
kewenangan terbatas itu pun masih dipasung lagi, sehingga para anggota DPD RI
tidak dapat berbuat banyak untuk memperjuangkan aspirasi daerah yang mereka
wakili dalam proses legislasi nasional. Hal itu dikatakan Ketua DPD RI Irman
Gusman dalam pidato konstitusionalnya pada sidang uji materiel Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 tahunl 2011, di Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/10) kemarin.
‘’Betapapun kami, para wakil daerah
dalam DPD RI, mencoba arif dengan kewenangan terbatas di atas, ternyata dalam
praksisnya, kewenangan terbatas itu pun masih belum dapat dioperasikan secara
maksimal. Setidaknya sesuai dengan idealitas yang dicetuskan oleh para
pejuang reformasi, the second founding parents di masa Reformasi 1998,’’
papar Irman dengan penuh semangat.
Menurut Irman, yang kini dianggap
sebagai salah satu negarawan muda potensial, kita harus menyaksikan dan
mengalami lagi, betapa bagi daerah, setelah sekian lama dinafikan,
diabaikan---bila tidak dapat dikatakan dihina oleh sentralisme kekuasaan di
masa lalu—ternyata kini masih tetap dikebiri atau dipasung dalam aktualisasi
dan pelaksanaan praktisnya.
Dalam pidato konstitusional yang diberi
judul “Dengarkan Daerah Bicara”,
Irman menggambarkan bagaimana sejak mulai bertunasnya republik ini daerah sudah
menunjukkan peran dan fungsinya yang sangat penting. Tapi selama ini, bahkan
setelah terbentuknya DPD RI delapan tahun silam, peran daerah itu seolah masih
dinafikan.
’’Bukan karena takhyul waktu, bila saya
harus mengatakan di hari yang sama dengan pertemuan kita hari ini, tepatnya 84
tahun yang lalu, terjadi semacam perjalanan historis (historical journey)
yang dilakukan oleh para pemimpin dari berbagai daerah, di semua sudut negeri,
untuk melantangkan bersama Sumpah Pemuda,’’ katanya berapi-api. ’’Sebuah
sumpah di mana dasar ideal dari bangsa dan negara diteguhkan, menjadi fundamen
dari eksistensi kita kini dan di masa nanti. ‘’
Ditegaskannya, peristiwa bersejarah itu
menandai dan membuktikan secara kuat peran dan saham daerah dalam pembentukan
bangsa dan republik ini. Kita pun mafhum bersama, peristiwa
tersebut bukanlah kebetulan atau baru terjadi pada masa itu. Ia sudah didahului
oleh pelbagai kejadian di puluhan daerah di masa ratusan tahun sebelumnya.
Yaknik, ketika daerah melakukan perjuangan sampai mati, melawan pemerintahan
kolonial.
Ketua DPD RI ini juga menggambarkan
bagaimana pentingnya peran daerah bahkan sejak masa penjajahan kolonial ratusan
tahun silam. Semua fakta itu mengatakan pada kita secara faktual dan jernih,
bahwa daerah-daerah yang diwakili oleh para pemimpinnya di awal abad 20 dan
berbagai komunitas lokal macam Jong Celebes, Jong Java, Jong Sumatera, Jong
Ambon, dan sebagainya, adalah aktor-aktor sejati dari terbentuknya republik
ini. Para pemimpin daerah tersebut adalah the founding fathers dari
bangsa yang kemudian bernama Indonesia ini. Tidak mengherankan bila M. Yamin,
salah satu dari guru-bangsa kita, menyatakan dengan tegas dalam
perbincangan awal penyusunan konstitusi kita bahwa, “…Indonesia hanya dapat
disusun dengan didasarkan atas negara kesatuan dengan mewujudkan syarat-syarat
(yang) mementingkan kepentingan daerah”.
Dipaparkan Irman, masih segar dalam
ingatan kita, ketika Yogyakarta sebagai ibukota negara dikuasai Belanda dan dwi
Tunggal Soekarno-Hatta ditangkap, Mr. Sjafroedin Prawiranegara tampil saling
bahu membahu dengan para pemimpin daerah, menegakkan Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat.
‘’Sekali lagi, ini membuktikan betapa
penting peranan daerah bagi kesatuan dan persatuan negara Republik Indonesia,’’
katanya.
Karena itu, Irman menggugat mengapa
peran dan fungsi DPD RI sebagai representasi sah daerah hanya diposisikan
sebagai pelengkap saja. Dia mengingatkan bahwa pasungan yang dirasakan lembaga
yang dipimpinnya itu sudah berlangsung lama dan sampai sekarang masih saja ada
pihak yang berusaha untuk tetap memasungnya.
Menurut dia, situasi tersebut sebenarnya
sudah terjadi sejak mula diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan, dua produk regulatif yang
telah ditetapkan bahkan sebelum anggota DPD hasil pemilu pertama (2004)
dilantik.
‘’Kedua undang-undang tersebut karenanya
bukanlah merupakan aspirasi sejati dari para wakil daerah dan akibatnya banyak
hal yang luput dari kondisi konstitusional yang seharusnya terjadi,’’ paparnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar