Selasa, 23 Oktober 2012

Irman Gusman: Kewenangan Terbatas DPD RI Masih Dipasung

 
Dengan kewenangan terbatas, ternyata dalam prakteknya para wakil daerah dalam DPD RI masih merasakan bahwa kewenangan terbatas itu pun masih dipasung lagi, sehingga para anggota DPD RI tidak dapat berbuat banyak untuk memperjuangkan aspirasi daerah yang mereka wakili dalam proses legislasi nasional. Hal itu dikatakan Ketua DPD RI Irman Gusman dalam pidato konstitusionalnya pada sidang uji materiel Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang-Undang Nomor 12 tahunl 2011, di  Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/10) kemarin.
‘’Betapapun kami, para wakil daerah dalam DPD RI, mencoba arif dengan kewenangan terbatas di atas, ternyata dalam praksisnya, kewenangan terbatas itu pun masih belum dapat dioperasikan secara maksimal. Setidaknya  sesuai dengan idealitas yang dicetuskan oleh para pejuang reformasi, the second founding parents di masa Reformasi 1998,’’ papar Irman dengan penuh semangat.
Menurut Irman, yang kini dianggap sebagai salah satu negarawan muda potensial, kita harus menyaksikan dan mengalami lagi, betapa bagi daerah, setelah sekian lama dinafikan,  diabaikan---bila tidak dapat dikatakan dihina oleh sentralisme kekuasaan di masa lalu—ternyata kini masih tetap dikebiri atau dipasung dalam aktualisasi dan pelaksanaan praktisnya. 
Dalam pidato konstitusional yang diberi judul “Dengarkan Daerah Bicara”, Irman menggambarkan bagaimana sejak mulai bertunasnya republik ini daerah sudah menunjukkan peran dan fungsinya yang sangat penting. Tapi selama ini, bahkan setelah terbentuknya DPD RI delapan tahun silam, peran daerah itu seolah masih dinafikan.
’’Bukan karena takhyul waktu, bila saya harus mengatakan di hari yang sama dengan pertemuan kita hari ini, tepatnya 84 tahun yang lalu, terjadi semacam perjalanan historis (historical journey)  yang dilakukan oleh para pemimpin dari berbagai daerah, di semua sudut negeri, untuk melantangkan bersama Sumpah Pemuda,’’ katanya berapi-api. ’’Sebuah sumpah di mana dasar ideal dari bangsa dan negara diteguhkan, menjadi fundamen dari eksistensi kita kini dan di masa nanti. ‘’
Ditegaskannya, peristiwa bersejarah itu menandai dan membuktikan secara kuat peran dan saham daerah dalam pembentukan bangsa dan republik ini. Kita pun mafhum bersama, peristiwa tersebut bukanlah kebetulan atau baru terjadi pada masa itu. Ia sudah didahului oleh pelbagai kejadian di puluhan daerah di masa ratusan tahun sebelumnya. Yaknik, ketika daerah melakukan perjuangan sampai mati, melawan pemerintahan kolonial.
Ketua DPD RI ini juga menggambarkan bagaimana pentingnya peran daerah bahkan sejak masa penjajahan kolonial ratusan tahun silam. Semua fakta itu mengatakan pada kita secara faktual dan jernih, bahwa daerah-daerah yang diwakili oleh para pemimpinnya di awal abad 20 dan berbagai komunitas lokal macam Jong Celebes, Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, dan sebagainya, adalah aktor-aktor sejati dari terbentuknya republik ini. Para pemimpin daerah tersebut adalah the founding fathers dari bangsa yang kemudian bernama Indonesia ini. Tidak mengherankan bila M. Yamin, salah satu dari guru-bangsa  kita, menyatakan dengan tegas dalam perbincangan awal penyusunan konstitusi kita bahwa, “…Indonesia hanya dapat disusun dengan didasarkan atas negara kesatuan dengan mewujudkan syarat-syarat (yang) mementingkan kepentingan daerah”.
Dipaparkan Irman, masih segar dalam ingatan kita, ketika Yogyakarta sebagai ibukota negara dikuasai Belanda dan dwi Tunggal Soekarno-Hatta ditangkap, Mr. Sjafroedin Prawiranegara tampil saling bahu membahu dengan para pemimpin daerah, menegakkan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat.
‘’Sekali lagi, ini membuktikan betapa penting peranan daerah bagi kesatuan dan persatuan negara Republik Indonesia,’’ katanya.
Karena itu, Irman menggugat mengapa peran dan fungsi DPD RI sebagai representasi sah daerah hanya diposisikan sebagai pelengkap saja. Dia mengingatkan bahwa pasungan yang dirasakan lembaga yang dipimpinnya itu sudah berlangsung lama dan sampai sekarang masih saja ada pihak yang berusaha untuk tetap memasungnya.
Menurut dia, situasi tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak mula diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-undangan, dua produk regulatif yang telah ditetapkan bahkan sebelum anggota DPD hasil pemilu pertama (2004) dilantik.
‘’Kedua undang-undang tersebut karenanya bukanlah merupakan aspirasi sejati dari para wakil daerah dan akibatnya banyak hal yang luput dari kondisi konstitusional yang seharusnya terjadi,’’ paparnya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar